Jokowi Sebut Whoosh Investasi Sosial, Bagaimana Kereta Cepat di Negara Lain? | ROSI

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden ke-7 RI Joko Widodo menyebut bahwa transportasi massal tidak semestinya diukur dari laba, melainkan dari keuntungan sosial atau social return on investment. 

Menanggapi pernyataan tersebut, Sosiolog Perkotaan Nanyang Technical University Singapore, Prof. Sulfikar Amir menyebut tidak apa-apa apabila tak menghasilkan laba, asal tidak rugi. 

Amir mencontohkan negara yang pertama kali mengembangkan kereta cepat di Jepang, dan sekarang ada sekitar 14 jalur kereta cepat di Jepang, dan semuanya itu mengumpulkan laba yang luar biasa besar. Dan laba ini dipakai untuk membiayai kereta-kereta yang lebih lambat, kereta-kereta di desa-desa, sebagai subsidi silang. Jadi siapa bilang kereta cepat tidak bisa menghasilkan laba. Contoh lain, di China, meski tidak semuanya menguntungkan dan ada subsidi silang oleh kereta yang sudah menghasilkan laba. 

“Kenapa di Indonesia tidak bisa menghasilkan laba? Mungkin butuh waktu memang, tetapi kan kemudian ada kondisi awal yang memungkinkan sistem ini bisa berjalan dan kemudian menjadi profitable dalam waktu tertentu. Dan itu yang perlu dihitung dengan cermat. Berapa banyak penumpangnya, lalu kemudian di wilayah mana yang akan ditempuh, lalu kemudian bagaimana sistem organisasinya sehingga semua sistem ini bisa berjalan,” katanya. 

Peneliti Demografi/Ketua DPP PSI Dedek Prayudi menyebut saat ini Indonesia masih di awal memiliki kereta cepat. Banyak dari pembiayaan yang sifatnya pengadaan infrastruktur pendukung, misalnya sumber tenaga listrik, sistem komunikasi antara gerbong kereta, dll. 

“Kalimat yang dilontarkan oleh Pak Jokowi itu kalimat perintis. Karena ini baru pertama kali diluncurkan sudah meributkan laba. Nah ini sudah tidak masuk akal ini,” ujarnya. 

Bagaimana menurut Anda?

Selengkapnya saksikan di sini: https://youtu.be/hPu6mnTVkkg?si=L5lpYVNxaAoVCIE6 

#whoosh #keretacepat #jokowi