JAKARTA, KOMPAS.TV - Seniman dan Aktivis Melanie Subono mengatakan aksi unjuk rasa yang terjadi adalah respons kemarahan publik dari tidak adanya rasa sensitif dari sekumpulan manusia yang lupa posisinya. Padahal yang mereka lakukan itu tidak mewakili rakyat kebanyakan, yang saat ini sedang terhimpit ekonomi dan mengalami kesulitan.
“Sementara lo tuh di sana karena kita loh, dan untuk kita. Iya kan, ini kita lagi ada problem bahwa meledaknya kan terakhir-terakhir itu. Video joget-joget lah,” katanya.
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menyebut ada perbedaan antara peristiwa kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 dan kondisi sekarang. Dari temuan TGPF terbukti penjarahan dilakukan sistematis. Namun ada rasa marah yang berbeda dalam dua peristiwa ini.
“Kemarahan rakyat pada zaman itu, itu sudah ditumpuk dari hilangnya kebebasan. Hilangnya demokrasi, nggak adanya demokrasi. Hilangnya kebebasan untuk bersuara, berpartisipasi, segala sesuatu dikendalikan penuh. Kali ini kemarahannya itu dipicu oleh perasaan tidak berdaya. Karena kok ini semakin lama hidup semakin menghimpit. Tapi kita melihat ada kelompok orang-orang yang mendapat kepercayaan kita, tapi justru seperti itu, sehingga kemarahan itu sama, tinggal siapa yang ngompori, siapa yang melemparkan apinya itu. Kita sudah melakukan apapun tidak pernah didengar. Nah itu, apalagi sekarang ada media sosial. Kemarahan itu kan terakumulasi. Teman marahnya banyak sekali, baru sih sekarang ini. Nah itu yang kemudian meledak bersamaan. Itu yang tadi saya maksud dengan api dalam sekam,” katanya.
Co-Founder What Is Up Indonesia? Abigail Limuria mengaku ada rasa takut yang umum dialami oleh warga Indonesia keturunan Tionghoa, kekhawatiran dan trauma akan peristiwa kerusuhan 1998 bisa terulang. Namun, saat ini ia melihat kondisinya berbeda, karena adanya keterbukaan informasi dan sosial media. Keragaman yang ada juga menambah keyakinan bahwa rasisme tidak akan bangkit lagi di era generasi sekarang.
“Aku ngelihat teman-temannya sudah bisa secara real time menapis hoax. Secara real time menangkap kalau misalnya ada oknum yang perbuatannya sedikit mencurigakan. Udah bisa sharing informasi satu sama lain dan juga seruan-seruan jaga warga,” katanya.
Catatan Redaksi:
Setiap warga negara berhak menyuarakan pendapatnya. Namun, kebebasan berpendapat harus dilakukan secara damai, tertib, serta jangan terprovokasi untuk melakukan perusakan dan penjarahan.
Selengkapnya klik link berikut:
https://youtu.be/Rr7fNWk2WEY
Artikel ini bisa dilihat di :
https://www.kompas.tv/talkshow/615751/akumulasi-kemarahan-massa-hingga-penjarahan-ini-bedanya-dengan-peristiwa-1998-menurut-alissa-wahid